Satu jam saja

Aku kembali memandang jendela luar cafe. Ah, sudah satu jam lebih aku menunggunya. Tapi rasa bergemuruh itu selalu melandaku ketika aku hendak melangkahkan kakiku untuk pergi meninggalkan tempat ini. Rasa khawatir selalu singgah di hatiku dan berbagai pertanyaan muncul di otakku. Bagaimana kalau dia datang? Dia pasti akan mencariku. Ah, benarkah? Dia akan datang atau tidak saja, aku belum tahu. Mungkin dia masih sibuk dengan ‘urusannya’ yang sekarang. Hhh, aku kembali menghela napas. Sudah cukup! Dia memang tidak akan datang. Apa sih susahnya menyempatkan waktu satu jam saja? Terlalu sibukkah dia?
Kali ini aku benar-benar melangkahkan kakiku keluar dari cafe ini. Dengan langkah gontai aku menghampiri honda jazz merahku. Sebelum masuk ke dalam mobil, kembali kusempatkan diriku menengok ke cafe tadi dan mendesah. Sudah berapa kali dia mengecewakanku? Aku sudah lelah.
Aku membanting diriku ke atas ranjang. Benar-benar lelah. Tahukah dia aku telah menyempatkan waktu luangku hanya untuk dia? Hh, dia memang tidak pernah tahu apa-apa tentang diriku. Aku yang selalu sibuk dengan urusan kantor saja rela meyempatkan waktuku hanya untuk bertemu dengan dia. Aku terlalu bodoh atau polos sih?? Bukankah seharusnya aku bisa menduga kalau dia tidak akan datang? Hh, berapa kali aku harus menghela napas???
Aku kembali teringat saat aku sedang dalam keadaan galau. Malam itu aku tanpa sadar mengirimkan sebuah sms kepadanya yang berisi ajakan untuk minum kopi bersama di cafe dekat kantornya. Ya, dekat kantornya, tapi kenapa dia tidak datang? Padahal jaraknya hanya sekitar 100meter dari kantornya. Ah, sudahlah. Dan dia menyanggupinya. Saat itu juga aku terlonjak kaget. Bagaimana tidak? Sudah satu tahun aku dan dia tanpa komunikasi tapi tiba-tiba dia mau menerima ajakan konyolku. Dan beberapa detik kemudian senyum tersungging di wajahku tapiii sepersekian detik aku kembali muram. Ya, aku bodoh. Aaah, kenapa aku bisa sebodoh ini sih?? Aku mengajaknya dan aku tidak tahu apa yang harus aku bicarakan padanya. Dan jika dia bertanya kenapa aku tiba-tiba mengajaknya pergi, apakah aku harus menjawab kalau aku sedang rindu berat kepadanya?? Aarrgghh... tidak mungkin kan?
Dalam anganku aku tidak meprediksikan bahwa dia tidak akan datang seperti saat ini. Aku kira dia benar-benar menepati janjinya. Dasar lelaki! Aku bangun dari posisi tiduranku dan meraih hape yang ada di meja rias. Nihil. Tak ada satu pun sms atau panggilan darinya. Dia memang benar-benar lupa dengan janjinya kepadaku.
Aku kembali beraktifitas pada hari senin, kejadian itu terus menghantuiku sepanjang hari Minggu kemarin. Aku benar-benar kecewa. Ya, aku tahu, aku terlalu tolol untuk mengharapkan dia datang. “hii”,sapa seorang kepadaku. Ah, sial sekali, orang ini lagi. Harus berapa kali sih aku menunjukan rasa tidak sukaku kepada orang ini? Aku hanya tersenyum muram. Orang ini menatapku aneh. Aku yang risih segera berjalan melewatinya. Tidak sopan sekali orang ini, menatapku seperti tadi. Aku bergidik ngeri.
Aku masuk ke dalam ruanganku. “pagi”,sapa sahabat sekaligus sekretarisku. “pagi juga”,balasku. “eh, kemaren gimana?”,tanya sahabatku. “gimana apanya?”,tanyaku balik. “lo sama dia”,jawab sahabatku. Aku mendesah sebentar. “dia nggak dateng”,jawabku lirih. Sepertinya sahabatku tercekat. Dia menghampiriku dan mengelus punggungku. “mungkin dia sibuk”,kata sahabatku. “sibuk? Sibuk sama ‘urusannya’?”,sinisku. “posthink aja deh”,tambah sahabatku itu. Ah, bagaimana bisa posthink? Dia terlalu mengecewakan.
Ponselku berdering sangat nyaring, membuat aku harsu menghentikan sebentar meeting yang sedang berjalan. Private number. Siapa? Tak butuh waktu lama aku mereject panggilan tanpa nama tersebut dan mendiamkan ponselku. Aku kembali melanjutkan meeting yang sedang kupimpin. Ah, kacau. Panggilan itu sudah mengacaukan segala kata yang sudah aku susun.
Aku kembali membuka ponselku, sudah satu jam tadi meeting selesai, tapi aku baru membukanya kembali. 5 panggilan tidak terjawab. Dan semuanya dari private number. Ada 10 sms masuk dan itu dari DIA. Aku tak menyangka. Aku membuka satu persatu pesannya. Mulai dari yang pertama. Dia hanya menuliskan satu kata yaitu maaf. Aku membuka yang kedua dan dia menanyakan aku dimana. Aku membuka yang ketiga dia mengatakan bahwa dia ingin bertemu denganku. Yang keempat dia bertanya kenapa tidak menjawab teleponnya. Yang kelima dia terus bertanya ku mau tidak bertemu dengannya untuk meminta maaf. Yang keenam dia menyatakan penyesalannya kemarin. Yang ketujuh dia menulis puluhan kata maaf. Yang kedelapan dia menanyakan kenapa aku tidak membalas smsnya. Yang kesembilan dia berkata bahwa jika aku memaafkannya aku harus datang ke cafe yang kemarin hari ini juga dan dia menuliskan kata sekarang. Aku segera melihat jam dikirimnya sms ini. Oh my... sudah satu jam lebih. Aku segera mengambil kontak mobilku dan melaju ke cafe kemarin denga kecepatan tinggi. Berharap dia masih ada disana, tapi aku juga tidak yakin dia masih ada disana atau tidak, ya, secara dia kan ‘sibuk’. Ohya! Masih ada satu sms yang belum aku baca. Aku mengambil ponsel yang ada di dalam tasku. Kubuka sms yang belum sempat terbaca tersebut. Dan isinya i will wait you. Whenever.ILU. ccciiiiiitttttt.... aku mengerem mendadak, ah, beruntung jalan sepi. ILU? Sadarkah dia menulis demikian? Aku harap tidak. It is impossible. Hei, tak sadarkah dirinya bahwa sebentar lagi dia akan menjadi milik orang lain? Bukankah kata itu kan membuatku sakit lagi? Ingat! Sudah 1 tahun hubungan ini berakhir. Aaarrggghh.. aku terjebak dalam permaianan konyolku!!
Aku memutar balik mobilku ke arah kantor. Ingin sekali aku menangis. Dia mengatakan itu? Hal yang memang dulu sempat aku sukai. Tapi tidak untuk saat sekarang. Ingat! Dia milik orang lain. Memang bukan kemauannya tapi tetap saja dia akan menjadi milik orang lain.
“lho kok balik? Cepet amat?”,tanya sahabatku heran. Aku segera memeluknya dan menangis di pelukannya. “kenapa?”,tanya sahabatku lembut. Aku masih terisak. “ok, lo tenangin diri lo dulu yaaa, gue ambilin lo minum dulu”,ucapnya lagi. Aku melepas pelukannya. Dan terduduk. Aku kembali mengingat smsnya. I will wait you. Benarkah? Haruskah aku percaya dengan perkataannya? Benarkah dia tidak akan mengecewakanku lagi? Tapi bagaimana jika dia benar-benar menunggku? Ah, tapi bagaiamana jika dia tidak menungguku? Mulai sekarang aku selalu memikir hal terbaik sampe yang terburuk.
Aku segera mengambil kontak dan melajukan mobilku ke cafe tadi. Masa bodoh dengan perkataan sahabatku yang melarangku, aku terlalu menyayanginya ternyata.
Aku menatap satu per satu pengunjung yang berada di cafe, dan kudapati dia tengah memandang keluar jendela. Aku menghela napas sebentar. Relaks saja batinku memotivasi diri. Aku menepuk pundaknya,dia memang duduk membelakangi pintu. Dia menoleh dan tersenyum masam. Aku balas senyumnya dengan masam pula. Aku duduk di hadapannya. “mau minum?”,tawarnya. Aku hanya mengangguk. Terlalu canggung. Dia memesankan minuman kesukaanku. Masih ingat ternyata. Aku hanya tersenyum dan menggumamkan kata terimakasih. Aku dan dia terdiam, seperti orang yang tidak saling kenal. “aku kangen kamu”,ucapnya tanpa menoleh ke arahku. Membuatku tersentak. Aku diam, dan bingung harus berkata apa. “ehmm, gimana kabar tunangan lo?”,tanyaku mengalihkan pembicaraan dan tidak menggunakan aku-kamu. “baik-baik aja”,jawabnya singkat dan menoleh ke arahku. Dia menatapku dalam, matanya yang tajam tetapi teduh mampu menghipnotisku sampai akhirnya sang pelayan datang membawa pesananku. “maaf yaa”,katanya. “udahlah, ngak usah diomongin lagi”,balasku. “maaf kemarin aku nggak dateng, dia nggak ngebolehin aku pergi buat nemuin kamu”,tambahnya dan menghela napas berat. Aku juga menghela napas. “namanya juga calon istri, wajarlah kalo dia ngelarang lo buat ketemu gue”,kataku. Dia menatapku tak percaya. “kamu beneran udah nggak ada rasa buat aku lagi?”,tanyanya, pertanyaan yang sangat aku takuti. Aku diam, tak mengangguk atau menggeleng, tak terucap satu kata pun. “jawab dhe”,desaknya. Dhe? Panggilan itu. “gue nggak tahu, dan jangan panggil gue dengan sebutan dhe, karena gue udah nggak suka itu”,jawabku. Dia kembali menghela napas. “sorry kalo gue keterlaluan kemarin, gue nggak sengaja buat ngajakin lo minum dan sebenernya kalo lo nggak dateng juga nggak papa”,kataku. Munafik. “jadi lo nggak seneng ketemu sama gue? Dan lo nganggep semua itu Cuma kesalahpahaman?”,tanyanya lirih, bisa terlihat jelas bahwa dia kecewa. “nggak gitu juga... bukan gitu...”,sangkalku. “terus?”,tanyanya. “eehhmmm... gue bingung”,jawabku. “tatap mata gue”,perintahnya. Aku diam, tak menatap matanya, terlalu takut bila aku harus menatap matanya, bisa-bisa aku kembali terhipnotis oleh mata elangnya. Dia mengangkat daguku, membuatku meatap wajahnya yang tampan. “i love you”,desisnya. Butiran bening mulai menuruni pipiku. Dia mulai menghapus air mataku dengan jari-jarinya. “jangan nangis, aku nggak suka kamu nangis, aku sakit kalo kamu nangis”,katanya. Air mata justru jatuh dengan derasnya. “kok nambah deres? Jangan nangis donk? Aku nggak mau kamu nangis”,katanya. Aku terisak, air mataku tidak lagi jatuh, aku mulai tegar. “jangan katain kata itu lagi..”,pintaku. “kenapa? Kamu masih sayang sama aku kan?”,tanyanya. Aku tersenyum. “kamu bukan milikku lagi, nggak pantes kamu ucapin kata itu dan nggak pantes aku denger kata itu lagi dari kamu”,jawabku. “tapii aku sa...”,aku meletakkan jariku di bibirnya, membuatnya berhenti berucap. “sssttt.. inget! Bentar lagi kamu nikah”,kataku. “tapi aku nggak cinta sama dia, aku cinta sama kamu”,katanya dengan nada kesal. “nggak, itu salah! Kamu nggak boleh lagi cinta sama kamu dan kamu juga nggak boleh cinta sama aku, benar apa kata ibu kamu, cinta itu pasti akan tumbuh lambat laun saat kamu bersamanya”,nasehatku. Perih. Sangat perih saat harus kuucapkan kata itu. Tapi satu, aku harus kuat. “udah setahun aku nyoba buat cinta sama dia, tapi nihil. Dia nggak bisa gantiin kamu di hati aku”,katanya lirih. Miris. Aku mencoba tersenyum. “kamu pasti bisa, aku yakin itu, asal kamu tahu, pilihan orang tua tak pernah salah, mereka pasti inginan yang terbaik untuk anaknya”,ujarku. “katamu mereka inginkan yang terbaik untuk anaknya, tapi apa? Yang aku inginkan itu kamu, kamu yang terbaik untuk aku bukan dia, jadi kamu salah kalau mereka inginkan yang terbaik untuk aku karena mereka nggak ngerti apa yang aku inginkan”,ucapnya. “hhh, aku capek debat sama kamu, Cuma satu pintaku, belajarlah cintai dia, lupain aku”,kataku pasrah. Ingin aku segera kembali ke rumah dan menangis meratapi nasib percintaanku. “kalo itu mau kamu, aku bakal coba, tapi jangan harap aku bisa mencintainya lebih dari aku mencintaimu”,katanya. aku lagi-lagi tersenyum. “maaf ya aku udah ganggu hubungan kamu sama dia, dengan ngajak kamu minum kemarin”,kataku menyesal, ya, aku sangat menyesal. Aku yang bodoh. “nggak papa kok, semuanya jadi terasa lebih ringan, aku sebenernya pengen banget ngomongin ini sama kamu tapi aku terlalu takut kamu malah sakit hati, dan kenyataannya kamu adalah wanita yang sangat tegar, dan itu yang membuatku cinta sama kamu”,tuturnya. Aku menelan ludah. Aku mohon jangan ungkit lagi masa lalu kita.
“ehmm, gimana kerjaan lo?”,tanyaku mengalihkan pembicaraan. “kerjaan gue baik-baik aja kok, lo sendiri?”,tanyanya. “baik juga, bentar lagi gue dipindahin ke luar negeri, kayaknya sih di melbourn”,jawabku. Ya, rencanaku pergi ke aussie sangatlah besar, Cuma satu, aku ingin melupakannya. “ke melbourn? Apa karna gue?”,tanyanya penasaran. “nggak lah, PD amat sih lo! Ini tuntutan pekerjaan, nggak ada hubungannya sama lo kok”,jawabku bohong. “ooh, gue kira karna gue, jangan pernah lupain gue yaa”,pintanya. Aku mengangguk. “pasti”,ucapku getir. Aku nggak akan pernah lupain kamu, karena kamu punya andil besar dalam hidup aku, tapi aku berharap aku bisa lupain kamu karena aku nggak mau hidup di bayangi wajah kamu lagi lanjutku dalam hati tentunya.
Tiba-tiba dia maju ke panggung dan mengambil microfon.
“disini gue bakal persembahin lagu buat lo, my lovely, i will always loving you”,ucapnya dan menatapku. Aku tak terlalu percaya dia bisa sePD ini, dan aku tercengang. Pengunjung yang lain ikut menatapku dan bertepuk tangan menyemangatinya.

Jangan berakhir
Aku tak ingin berakhir
Satu jam saja
Ku ingin diam berdua
Mengenang yang pernah ada
Dia memejamkan matanya, meresapi setiap bait dan aku pun merasakan makna tiap bait itu. Harapan.
Jangan berakhir
Karna esok takkan lagi
Satu jam saja
Hingga kurasa bahagia
Mengakhiri segalanya
Tapi kini tak mungkin lagi
Katamu semua sudah tak berarti
Satu jam saja
Itupun tak mungkin
Tak mungkin lagi
Jangan berakhir
Ku ingin sebentar lagi
Satu jam saja
Izinkan aku merasa
Rasa itu pernah ada...

Lagu habis dia membuka matanya. Menatapku dalam. Aku tahu itu adalah tatapan pengharapan. Tapi seperti lagu tadi, semua telah berakhir. Berakhir disini. Dia dengan hidupnya dan aku dengan hidupku. Pegunjung bertepuk tangan. Dia kembali ke tempat.
“lagu harapan”,kataku. Dia tersenyum, senyum yang mampu membuatku semangat saat aku masih bisa bersamanya. “ya, dan seperti apa kata lagu tadi, semua sudah berakhir, tak mungkin lagi dan esok takkan lagi, ini yang terakhir”,kataku. “aku belum siap melepasmu”,katanya. “jangan berakhir aku ingin sebentar lagi dan aku tak ingin berakhir”,lanjutnya. “nggak bisa, cukup satu jam. Dan ini waktunya. Tepat satu jam. Sepertinya kita harus berpisah”,kataku, jujur hatiku sangat perih meninggalkannya, orang yang sangat aku cintai, dan aku harus rela melepasnya demi keinginan orangtuanya. Ah, miris sekali nasib cintaku ini, saat aku menemukan belahan jiwaku aku harus rela dengan kenyataan yang menyatakan bahwa aku harus meninggalkannya. Cinta tak harus memiliki, ah, kata yang sangat munafik. Dalam kanyataannya, siapa sih yang tidak mau memiliki? Jawabannya tak ada. “boleh aku memelukmu untuk yang terakhir kali?”,tanyanya. Aku mengangguk. Dia beranjak dan memelukku erat. Lama. Hangat. Pelukan yang selama satu tahun ini tak pernah lagi aku rasakan, dan sekarang ini adalah pelukan yang terakhir kalinya. Aromanya yang sangat khas membuatku tak pernah lupa dengannya.
“makasih buat hari ini, see you”,ucapku dan pergi meninggalkannya. Aku tersenyum. Ya, aku pasti bisa melupakannya dan satu harapanku. Semoga dia bahagia dengan pilihan orangtuanya.

0 komentar:

Posting Komentar