02.28 | 0 Comments

 DIBALIK LENSA KAMERA




Aku membidikkan lensa kameraku ke suatu objek yang yah... indah menurutku. Kalian tahu apa objek itu? Yap, objeknya ialah seorang anak dengan botol plastik bekas aqua yang diisi dengan semacam kerikil. Entah kenapa aku selalu terpaku dengan objek yang seperti ini. Tetapi hasil bidikan semacam ini selalu mendapat pujian dari orang-orang yang melihat hasilnya. Kata mereka aku lebih bagus membidik sebuah kesenjangan sosial daripada panorama alam. Hmm, lihat saja, hasil jepretanku beberapa hari yang lalu, banyak sekali medapat pujian, bahkan dosen yang dulu mengajarkan fotografi kepadaku ikut menyanjungku.

FlashbackOn

“hasih bidikanmu bagus sekali, yel...”,puji mantan dosenku. Aku hanya tersenyum. “terimakasih sir, itu pula berkat anda juga sir...”,kataku. “benar-benar bagus, kamu memang berbakat”,kata beliau. “saya merasa kamu lebih cocok dengan tema yang seperti ini”,tambah beliau. “saya rasa juga begitu sir...”,kataku menyetujui perkataan beliau.

Flashback Off

Aku kembali mengarahkan kameraku ke objek yang lain, kali ini aku memotret seorang bocah sedang menyemir sepatu. Kadang kala aku berpikir, bagaimana bisa anak sekecil mereka bekerja di tempat yang keras sepeti di jalanan ini. Apakah orang tua mereka tidak merasa kasihan dengan anak-anaknya yang seharusnya duduk di bangku sekolah malah ada di bawah teriknya matahari yang menyengat kulit. Banyak sekali pertanyaan dalam benakku, mungkin jika ditulis bisa mencapai satu buku setebal novel Harry Potter.

Aku mendekati anak yang sedang menyemir sepatu. Aku pikir sepatuku cukup kotor akibat debu-debu di sepanjang jalan ini. “semir mas?”,tanya anak itu. Aku mengangguk. Dan aku melepaskan sepatuku, dia memberiku sendal jepit yang tidak begitu usang, cukup bersih menurutku. Dia mulai mengerjakan pekerjaannya. Senyum terus menyungging di wajahnya. “sudah berapa lama kamu nyemir?”,tanyaku, memecahkan keheningan. “sekitar 6 bulan mas”,jawabnya. “duduk mas...”,tawarnya kepadaku. “nggak begitu kotor kok lantainya”,tambahnya. Aku tersenyum dan duduk. Di lantai depan emperan toko. “rumahmu dimana?”,tanyaku lagi. “di pinggiran kalasan mas...”,jawabnya. “sudah lama ya sepatunya nggak disemir mas?”,tanyanya. “heheheee, iya...”,jawabku sambil terkekeh, bocah itu tersenyum. “oh iya, namamu siapa?”,tanyaku, anehnya aku sampai lupa menanyakan namanya. “Ozy mas..., mas sendiri namanya siapa?”,jawab dan tanyanya. “iel...”,jawabku. “kamu nggak sekolah zy?”,tanyaku. “sekolah mas, tapi sekolahnya siang, gantian gedungnya...”,jawab Ozy. “oohh...”,aku hanya ber-oh. Diam. Ozy masih terus menyikat sepatuku. Aku melepas kamera yang tergantung di leherku. Aku melihat hasi jepretanku. Tetap bagus. Aku mengarahkan lensaku ke ozy. Kilat cahaya yang terpancar dari kameraku. Ozy tampak kaget. “hah? mas iel, aku nggak suka dipotret”,katanya. “hahahaaa, kenapa nggak suka dipotret Zy?”,tanyaku. “nggak tau kenapa, yang jelas Ozy nggak suka aja dipotret”,jawabnya. “mas iel suka dipotret?”,tanyanya. “mas nggak suka dipotret, tapi mas suka motret...”,jawabku. “udah keliatan kok mas, kalo mas iel suka motret...”,katanya. “kok bisa?”,tanyaku. “ya iyalah, itu mas iel kan bawa-bawa kamera”,jawabnya. Aku tertawa mengetahui kebodohanku. “sekolahmu dimana zy? Kelas berapa?”,tanyaku. “itu di SMP 2, udah kelas 7”,jawabnya. “kalo gede kamu mau jadi apa zy?”, tanyaku lagi. “ehmm, ozy pengen jadi dokter mas...”,jawab Ozy. “ozy pengen ngobatin orang-orang yang nggak mampu kayak ozy sekarang ini... berobat kemana-mana susah kalo kita ngga punya uang...”,jawab Ozy cukup logis. Hmm, ozy memang anak yang berjiwa sosial yang tinggi. “oh, kalo gitu, kamu belajar yang bener, supaya besok cita-cita kamu tercapai zy..”,kataku. “ya, pastilah mas.. ozy juga nggak pernah absen berdoa sama Tuhan supaya cita-cita Ozy tercapai”,kata Ozy. Hmm, asyik sekali ngobrol dengan Ozy. Dia tidak seperti anak-anak yang biasa aku temui, yang biasanya mereka hanya menjawab tanpa bertanya balik.

“eh, udah nih mas...”,katanya dan menyodorkan sepatuku. “berapa Zy?”,tanyaku sambil menerima sepatuku. “5 ribu mas...”,jawabnya. “bentar ya Zy...”,kataku, aku memakai sepatuku dulu, kemudian menyerahkan sandalnya. Aku mengambil dompetku dan mengeluarkan selembar 10 ribuan. “bentar ya mas, ini belum ada kembaliannya, biar Ozy tukar dulu”,katanya. “ nggak usah Zy, buat kamu aja semuanya...”,cegahku. “nggaklah mas, biar Ozy tukar, mas tunggu disini aja”, katanya dan pergi ke sebuah warung kecil di seberang jalan. Dia kembali membawa dua lembar 5 ribuan. Dia menyerahkan satu lembar limaribuan ke padaku. Aku menerimanya dan tersenyum. Sungguh, jarang sekali aku menemukan anak seperti Ozy ini. “makasih ya mas...”,kata Ozy. Aku mengacungkan jempolku. “sip”,kataku.

Aku meninggalkan tempat Ozy. Baru beberapa meter aku berjalan, aku dikejutkan oleh sebuah teriakan. “copet! Copet! Copet!”. Terlihat seorang anak berlari ke arahku. Dia dikejar oleh beberapa orang. Dia terus berlari sambil menengok ke belakang sehingga akhirnya dia menabrakku. “mas! Tangkap anak itu!”,teriak seorang bapak-bapak bertubuh kurus. Segera kutangkap tangannya saat dia akan berdiri. Kutatap dia iba dan dia menatapku seperti berkata ‘tolong lepaskan aku, aku mohon’. Segerombolan orang yang mengejar anak ini akhirnya sampai juga ditempatku. Dia merampas anak itu dariku. Ternyata dugaanku salah, mereka mengadili sendiri. Mereka memukuli anak itu, menceomohnya dan mengeluarkan kata-kata kasar untuknya. Tapi..... hei! Ini salah! Bukan begini sehaarusnya! Aku masuk ke gerombolan itu dan melerai mereka, aku berusaha meindungi anak ini.

“stop!stop!”,kataku. “hei! Mau apa kamu! Dia ini pencopet!”,kata seeseorang disertai serun setuju dari yang lainnya. “bukan begitu bapak-bapak... kalian seharusnya tidaak mengadili sendiri seperti ini”,kataku. Anak itu masih terduduk sambil memegangi pipinya yang lebam. “urusan polisi Panjang mas...”, salah seorang berkata dan lagi-lagi yang lainnya setuju. “ya, jika memang begitu, bukan seperti ini juga kan caaranya? Cara yang lebih manusiawi...”,kataku. “pencopet emang seharusnya dikayak gituin mas....”,kata seorang. “mau jadi pahlawan yaa”,tambah seseorang lagi. Sepertinya mereka akan menceomohku. “bukan maksud saya lancang, saya hanya ingin menegakkan kebenaran... seharusnya kalian juga lihat, dia masih anak-anak saya yakin dia mencopet juga terpaksa...”,kataku. Anak itu berdiri dan menyerahkan dompet yang dia copet kepada si pemilik. “maaf...maafkan saya... saya mohon... maafkan saya...”,katanya dan berlulut di depan si pemilik. “huu... dasar pencopet!”,kata seorang dari belakang. “awas aja kalo ketemu nyopet lagi!”,kata si pemilik. Satu per satu orang dari kerumunan itu mulai menyingkir. Aku menghampirinya yang masih berlutut. Aku menepuk bahunya. “makasih mas”,katanya sembari berdiri. “masama”,jawabku. Dia merintih sambil memegangi pipinya. “auw...”,rintihnya. “perih ya?”,tanyaku. “sedikit, tapi udah biasa kok...”,jawabnya. “duduk disitu yuk...”,ajakku ke sebuah emperan toko di dekat kami. “dia mengikutiku duduk. “Kamu tungggu disini, biar aku beli obat buat kamu yaa...”,kataku. “mas, nggak usah! Aku udah biasa kayak gini kok... bentar lagi juga sembuh...”,cegahnya. “nggak papa”,kataku dan pergi ke sebuah toko obat china. Aku membeli obat merah, kain kasa dan kapas serta handsaplas. Aku kembali dan sungguh aku tak menyangka kalau dia masih menungguku. Tadinya kupikir dia akan pergi. “maaf lama...”,kataku. “mas nggak seharusnya minta maaf, tapi aku yang harusnya minta maaf karna udah ngerepotin mas...”,katanya. Aku mengambil obat merah dan kapas. “makasih ya mas...”,katanya. “iya, sama-sama, udah seharusnya kan manusia saling tolong menolong”,kataku. “ehm, namamu siapa?”,tanyaku. “daud, mas sendiri?”,tanyanya balik. “iel, kenapa kamu nyopet?”,tanyaku TTP. “ibu saya sakit mas, sedangkan bapak saya sudah meninggal, kakak saya kabur nggak tau kemana, nah saya bingung mau cari uang gimana.... ya, saya nekat nyopet deh, biasanya ibu saya jadi kuli cuci, tapi kan ibu saya lagi sakit jadinya kan nggak ada penghasilan”,jawabnya. Senang rasanya melihat anak ini terbuka akan kehidupannya. “oh, kalau kamu mau, mas punya pekerjaan yang lebih baik dari nyopet”,tawarku sambil mengobati pipinya. “beneran mas? Mau banget...”,katanya. “nanti kamu ikut mas yaa...”,kataku. Dia mengangguk dan tersenyum. “ya, sudah selesai...., ayuk ikut!”,kataku setelah selesai mengemasi obat-obat. Kembali sebuah ide mucul, aku mengarahkan kameraku kepada daud. Jepret! Satu foto daud berhasih aku ambil. Daud tak menyadarinya karena dia sedang menatap kosong. “yok..”,ajakku. Dia berdiri dan berjalan di belakangku.

Akhirnya kita sampai di sebuah agen koran. Yang pemiliknya adalah temanku, Rio. Aku masuk, daud mengikutiku. “hei, iel?”,serunya kaget dan menghampiriku. Kita saling berpelukan, menggingat sudah sekitar satu tahun kita tak bertemu. “hei, ngapain lo disini?”,tanyanya. “gue ada perlu sama lo...”,jawabku. “perlu apa?”,tanyanya. “eh iya, gue jadi lupa kalo gue belom nyuruh lo duduk...”,tambah Rio. “nggak usah yo..., gue nggak lama kok, gue Cuma butuh bantuan lo!”,tolakku. “bantuan apa sih?”,tanyanya. Aku memanggil daud. “daud, kenalin ini mas Rio, dia pemillik ini...”,kataku memperkenalkan daud kepada rio. Rio dan daud bersalaman. “oh, gue ngerti, lo mau dia kerja jadi loper koran disini kan?”,tebak Rio. Aku mengangguk. “ok, boleh aja...”,kata Rio. “daud, sekarang kamu ambil 3 koran kompas, 4 koran suara merdeka dan 3 koran nova, satu koran untungnya 700 rupiah, kalo kamu berhasil menjual semuanya, kamu bisa mendapat untung 7000 rupiah, gimana?”,tanya Rio. “boleh mas, ehmm, boleh saya ambil sekarang?”,kata daud dengan senyum dan mata berbinar yang memancarkan kesenangan. “ya, boleh...”,jawab Rio. Aku tersenyum. Daud pergi mengambil koran-korang yang dimaksud Rio. “gimana kabar lo yo?”,tanyaku. “baek, lo sendiri gimana? Katanya lo buka semacam pameran gitu yaa?”,jawab dan tanya Rio. “gue juga baek, iya, kemaren dosen gue juga dateng..., tau darimana lo?”,jawab dan tanyaku balik. “ya dari koranlah... kemaren kan masuk koran...”,jawab Rio. Obrolan kita terhenti karena daud datang. “mas, yang ini?”,tanya daud kepada Rio. “iya, mau langsung sekarang?”,tanya rio. Daud mengangguk. “mau dimana?”,tanyaku. “perempatan kalo nggak di BI mas”,jawab daud. “ya udah, hati-hati yaa...”,pesa Rio. “mas, makasih ya..”,kata daud kepadaku. Aku mengagguk dan mengacungkan jempolku. “sip, yang penting jangan di ulangi lagi”,pesanku. Daud mengagguk. “pergi dulu ya mas-mas...”,pamit daud lalu pergi. Aku mengarahkan kembali kameraku kepadanya.yap, dapat. Bagus, natural. “iel..iel nggak berubah lo! Selalu aja ngambil foto diem-diem. Aku tertawa. “hahahaa... lo juga pernah kan?”,tanyaku pada Rio. “iya, hebat banget lo! Gue waktu itu nggak sadar, kalo sadar kan gue bisa gaya dulu...hahahaaa”,jawab Rio. “hahaa, narsis lo! Eh,kayaknya udah siang nih yo... gue pamit dulu yaa...”,pamitku. “lho? Gue belom ngajak lo makan ato minum lho..., kok lo cepet banget sih? Mau ngapain sih lo?”,tanya Rio. “ya elah, gue kan udah ngomong tadi gue nggak lama...”,jawabku. “elah, lo nggak pengen nostalgia dulu?”,tanya Rio dan tersenyum gaje. “nostalgianya besok-besok aja kali yo... eh, kapan nih kita reunian sama anak-anak?”,tanyaku. “kapan yaa? Anak-anak susah dihubungi, besok deh diatur...”,jawab Rio. “ok, kalo ada reuni kasih tau gue ya”,kataku. “pastilah, eh, lo masih pake nomor yang lama kan?”,tanya Rio. “yoyoi, eh, gue pulang dulu ya...”,pamitku. “ya udah deh... ati-ati lo di jalan...”, pesan Rio. “sip, thanks ya”,kataku dan Aku mengacungkan jempolku lagi dan pergi.

Panas matahari yang menyengat kulit ditambah hawa panas yang menusuk tulang membuat tenggorokanku terasa kering. Aku memuutuskan untuk membeli minum. Aku masuk ke sebuah mini market terdekat. Aku mengambil sebuah minuman kaleng. Hahaha, gila memang. Masuk ke sebuah mini market hanya untuk membeli sekaleng minum. Ah, tak peduli apa kata orang. This is me, this is my live. Aku membayar di kasir. Sang kasir menatapku aneh. “hanya ini mas? Ada yang lain?”,tanyanya. “ya, hanya ini”,jawabku. “ lima ribu mas...”,katanya. Aku mengambil satu lembar lima ribuan. “uang pas ya mas, terimakasih, silahkan datang kembali”,kata kasir itu. Aku mengambil barangku dan pergi keluar.

Aku duduk di pinggir trotoar dan meminum minumanku. Aku mengamati setiap orang dan kendaraan yang lewat. Banyak sekali bus-bus berseliweran, tak jarang mereka menawariku. Aku hanya menggeleng. Kadang aku merasa heran. Bus sudah terlihat penuh tetapi kenapa tetap saja mereka menawari orang-orang yaang hanya duduk-duduk di pinggir jalan.

Aku kembali meneguk minumanku sampai tetes terakhir. Kubuang kaleng tersebut sembarang dan kembali menatap jalanan. Tak kusangka Seorang anak mengambil kaleng yang kubuang. Lagi-lagi seorang bocah. Dia berpakaian lusuh dengan bawahan merah. Dia mengambil kaleng yang kubuang dan kemudian mengorek-ngorek tempat sampah anorganik. Kuamati dia. Seperti biasa batinku tersentuh. Kudekati dia. Tapi, sebelum aku menghampirinya tenttu saja aku memotretnya dulu. Dan kutepuk pundaknya. Dia menoleh kaget. Bisa dilihat dari matanya bahwa dia ketakutan melihatku. “hei, tak usah takut, aku tak akan menyakitimu...”,kataku. Dia masih diam, ketakutan. “ma...ma...maaf bang.. saya Cuma lagi nyari barang bekas bang...”,katanya tergagap. Aku tersenyum. Aku tahu apa yang dipikirkannya. Dia ketakutan aku memarahinya. “tidak, silakan kamu cari barang-barang yang kamu perlukan...”,kataku. dia menganggguk dan kembali mengorek tempat sampah itu. Dia mengambil beberapa kaleng dan botol serta gelas plastik. Aku terlarut dan tak terasa aku ikut membantunya. Aku memasukkan beberapa botol ke dalam karungnya yang bisa dibilang kumal. “makasih mas”,katanya saat aku memasukkan botol-botol itu. Aku tersenyum. “mas, duduk dulu mas, saya capek”,katanya. Dan dia duduk di pinggirang trotoar, aku mengikutinya dan duduk di sampingnya. “namamu siapa?”,tanyaku. “dayat mas, mas sendiri siapa?”,jawab dan tanyanya. “iel”,jawabku singkat. Dia membulatkan mulutnya. “eh, entar barang bekas ini mau di bawa kemana?”,tanyaku. “ya ke penampungan barang bekas”,jawabnya. “lha terus gimana?”,tanyaku lagi. “jadi gini, saya kan mengumpulkan barang bekas ini setelah kumpul banyak entar di jual ke penampungan barang-barang bekas entar saya dapet uang”,jawabnya. “oohh..., sejak kapan kamu ngumpulin barang bekas??”,tanyaku lagi. “sejak lulus SD”,jawabnya. “nah, sekarang kamu masih sekolah”,tanyaku. Dia menggeleng. ‘banyak sekali anak kurang beruntung di negeri ini’,batinku. “sudahlah, tak apa, eh, pernah nggak kamu mencoba mendaur ulang barang-barang bekas ini jadi ya... semacam kerajinan gitu?”,tanyaku mengalihkan pembicaraan. Dayat menyeritkan dahi lalu menggeleng. Aku tersenyum. “hmm, bagaimana kalau kita bikin kerajinan dari botol-botol ini sama dari kardus-kardus ini?”,usulku. “hmm, bagaimana caranya?”,tanyanya. “kita butuh buku kerajinan”,jawabku. “ayo!”,aku berdiri dan mengajaknya pergi ke suatu tempat. Dia mengikutiku.

Aku dan dayat berhenti di sebuah toko buku loakan di belakang taman pintar. “mau cari apa mas?”,tanya penjaga toko itu. “cari buku kerajinan ada?”,tanyaku. “ooh, tentu mas...”,jawabnya sambil memilah-milah buku mencari buku kerajinan. “ini mas”,katanya dan menyodorkan beberapa buku kerajinan tangan. Dayat hanya diam. Memperhatikan tingkahku. Aku membuka-buka buku yang disodorkan penjaga itu. “yang ini aja deh...”,kataku dan memilih buku yang tidak terlalu tebal. “hanya ini mas?”,tanyanya. Aku mengangguk. “berapa harganya?”,tanyaku. “12 ribu”,jawabnya. Aku mengambil satu lembar 5 ribuan dan satu lembar 10 ribuan. “kembalinya 3 ribu ya mas”,katanya dan menyodorkan 3 lembr seribuan. “makasih”,kataku. Aku dan dayat beranjak pergi dari tempat itu. “eh, day, udah siang nih, makan dulu yok”,ajakku. “nggak mas.. mas aja yang makan, dayat nunggu disini aja deh...”,tolaknya. Bukan pertama kali bagiku ajakanku ditolak mentah-mentah, aku juga sudah tahu alasannya. Hanya satu. Tidak ingin merepotkan dan tidak ingin dikasihani(katanya satu? Kok jadi dua? Ah, penulis gila!). aku hanya tersenyum. “ya sudah, aku masuk dulu ke dalam, kamu tunggu disini saja!”,kataku. Aku masuk ke dalam kantin kawasan taman pintar. Aku memesan dua kotak bento dan dua gelas tong tji. Setelah itu aku kembali keluar, tempat dimana dayat menungguku. Kulihat dayat sedang membaca buku yang tadi kubelikan. Aku menepuk bahunya pelan. “lho cepet banget mas?”,tanyanya. “nih, aku nggak makan disana kok”,jawabku dan menyerahkan sekotak bento dan segelas tong tji. Dia menerimanya ragu. “udah, nih buat kamu!”,kataku dan menyodorkannya. “makasih ya mas...”,katanya. Aku mengangguk dan tersenyum. “ ayo dimakan!”,suruhku. Dia membuka kotak bentonya. Kulihat dia melahapnya dengan semangat. Aku hanya tersenyum tipis melihatnya. Kemudian kami larut dalam makanan masing-masing. Makanan kami habis dalam sekejap.

“mas, tadi saya sudah ngelihat nih buku, cukup sulit mas bikinnya”,katanya setelah kita sedang menyedot minuman kita masing-masing. “oh ya? Nanti aku bantu deh bikinnya”,kataku. “beneran mas?”,tanyanya. “ya pastilah, besok kita ketemu lagi aja, di depan BI, bisa kan?”jawab dan tanyaku. Dayat mengangguk mantap. “ya, pasti bisa mas...”,jawabnya.
Kemudian setelah agak lama kita duduk- duduk dan mendiskusikan barang yang akan kita buat kitapun berpisah.

Aku menunggunya di depan BI, sesuai janji di hari kemarin. Beberapa menit setelah aku menunggunya dia akhirnya datang. Kulihat dia membawa karung kumalnya yang kutahu isinya adalah ember dan kaleng yang kemarin kuminta. Akupun membawa sekantung kresek berisi stik es krim, kain flanel, cat minyak, peralatan lukis dan kertas warna-warni, dan tak lupa beberapa bohlam hias dan kabel-kabel, peralatan listrik lainnya. “maaf mas, saya telat..., tadi saya cari barang dulu”,katanya dengan nafas sedikit terengah-engah, mungkin dia berlari untuk sampai disini padahal dari kejauhan dia terlihat tenang. “oh ya, nggak papa kok...”,kataku sembari tersenyum. “jadi, kita mau bikin dimana mas?”,tanyanya. “gimana kalo di galeri mas aja...”,usulku. “dimana mas galerinya?”,tanyanya lagi. “di daerah pasar sentir”,jawabku. “oh deket donk, ya udah di galeri mas aja”,katanya. Aku dan dayat berjalan beriringan ke galeriku.


Akhirnya kita sampai di galeriku, aku memang memiliki galeri, yah untuk sekedar memamerkan beberapa hasil jepretanku, jarang memang yang mengunjunginya tapi jika mereka sudah mendengar ‘karya baru’ dari seorang gabriel stevent damanik bisa dipastikan aku tidak bisa pulang ke rumah dalam waktu satu minggu. Hahahaa, memang ada saja yang ingin melihat karyaku, bukannya aku sombong, tapi memang kenyataannya begitu. Ok, lupakan. “ini galeri mas iel?”,tanya dayat sambil melihat-lihat karyaku. “iya, kenapa?”,jawab dan tanyaku. “kok mas iel motretnya hampir semuanya satu tema? Kemiskinan”,tanyanya. Aku sedikit terkekeh. “hanya ingin membuktikan bahwa di indonesia banyak sekali orang-orang yang masih belum beruntung dan hanya ingin memperlihatkan kepada dunia bahwa kita harus membantu mereka yang kurang beruntung ini”,jawabku. Dayat manggut-manggut. “oohh, mas iel baik banget deh...”,pujinya kepadaku. “ini demi kebaikan kita semua”,kataku.

“mas, kita mau bikin apa nih?”,tanyanya saat semua bahan dan alat sudah dipersiapkan. “kita buat celengan aja, terus lampion dari stik-stik ini, tempat sampah”,jawabku. “ok, kita mulai darimana?”,tanya dayat lagi. “membuat motif”,jawabku. Aku dan daayat mulai membuat motif di atas ember-ember bekas. Setelah membuat motif kita mulai mewarnai dengan cat-cat yang kubawa. Tak sulit untukku melukis di atas di berbagai media, karena jurusan yang aku pilih pada semester pertama mencakup semua aspek seni. Dari seni tari, degraf, lukis, musik, fotografi dan banyak lainnya. Yap, celengan pertama kita cukup bagus. Setelah membuat tempat sampah, kita mulai menyusun stik es krim untuk membuat lampion(pembaca ngerti kan yang kayak apa?? Kalo nggak ngerti dibayangin aja deh, penulis bingung jelasinnya,hehehee, kurang profesional).

Setelah beberapa hari aku dan dayat mendaur ulang barang-barang bekas ini akhirnya kita menjualnya ke orang-orang dengan cara berdagang keliling, menawarkan setiap barang kepada orang-orang yang sedang berjalan-jalan dan tak disangka hasilnya cukup lumayan. “wah, mas, laku mas..., uang kita banyak nih mas”,kata dayat dengan mata berbinar sambil menghitung uang. Aku tersenyum. “lima ribu, sepuluh ribu, limabelas ribu, duapuluh ribu........seratus duapuluh lima ribu”,dayat menghitung hasil kerja kita. “ya sudah,sebagian buat modal sebagian lagi buat kamu”, kataku. “buat saya? Lha buat mas mana? Mas kan juga bantu”,tanya dayat. “mas sih nggak usah, kamu kan lebih butuh, dan kamu juga usahanya keras banget”,jawabku. “bener? Buat saya mas?”,tanyanya dengan mata terbelalak. Aku mengangguk pasti. “mas, kalau begitu, saya bikin kerajinan sendiri saja, saya nggak enak sama mas, masa mas bantu saya tanpa ada upah”,katanya. “emang kamu bisa kerja sendiri?”,tanyaku ragu. “bisalah mas..., mas tenang aja”,jawabnya pasti, penuh keyakinan. “ya sudah kalu begitu, tapi kalau kamu butuh bantuan kamu bisa temui mas di galeri ini ya”,kataku. “sip mas..., mas, kayaknya udah sore, kita pulang saja yuk”,ajaknya. Kemudian kami berpisah di perempatan BI. Setelah berpisah dengan dayat aku berjalan melewati depan DPRD yogyakarta. Bebrapa waktu lalu terjadi demo tenteng RUUK. Aku berjalan dan... “astaga”,aku menepuk dahiku. Bisa-bisanya aku melupakan sesuatu yang penting. Akh, bukan rejekiku kali. Kalian tahu apa yang kumaksud? Aku lupa memotret dayat dengan wajah gembiranya, hahahaa, aneh ya aku? Tapi menurutku itu adalah sesuatu yang berharga dan seharusnya aku bisa mendapatkan foto itu. Tapi, ya sudahlah. Mungkin lain kali aku bisa mendapatkan foto itu.

Aku berjalan sambil menunduk. “brruukk”,tak sengaja aku menabrak seseorang. Ternyata yang aku tabrak adalah seorang gadis kecil yang membawa dagangannya. Semua dagangan yang dia bawa berjatuhan. “aduh, de...maaf yaa, saya nggak sengaja”,kataku dan memunguti barang dagangannya yang berserakan. “nggak papa kok mas, tapii dagangan saya rusak semua... aduh gimana ini mas? Nati saya dimarahi bos saya gimana?”,dia kelihatan bingung. “ya sudah, nanti saya yang tanggung jawab, sekarang kamu antar saya ke boss kamu...”,kataku dan mengangkat dagangannya. “terimakasih ya mas...”,katanya. “mari saya antar”,katanya lagi. Aku mengikutinya dari belakang,aku dan gadis kecil ini berbincang sedikit, ternyata namanya Oik, dia sekarang kelas 1 smp, dia bekerja sebagai pedagang asongan untuk memenuhi kebutuhan sekolahnya, seperti buku, alat tulis dan seragam. Akhirnya aku dan dia sampai di sebuah toko. Dia memanggil pemilik toko itu. “bang, dagangan saya jatuh, tapi ada yang mau ganti rugi bang”,katanya pada sesosok lelaki hitam manis yang berdiri membelakanggiku. “iya, sebentar ya Oik, abang lagi ngitung nih”,lelaki itu berkata lembut. Jika dilihat dari perkataan dan penampilannya sepertinya dia tidak akan tega memarahi Oik, atau Oik itu baru bekerja disini, sehingga dia belum tahu sifat orang disini. Oik mendatangiku. “sebentar ya mas, bang Riko lagii ada urusan sebentar”,katanya dan tersenyum manis. “iya, saya tunggu kok”,kataku. Lelaki yang bernama Riko itu mendekatiku dan Oik. “jadi ini yang mau ganti rugi, Ik?”,tanyanya dan tersenyum ramah kepadaku. Aku membalas senyumnya, Oik mengangguk. “nama saya Riko, kakak asuh Oik”,kata lelaki itu memperkenalkan diri. “gabriel stevent”, aku turut memperkenalkan diriku. “fotografer profesional itu kan?”,tanyanya. Aku hanya memangguk kecil, “ah, tidak seprofesional itu kok”, kataku. “hahaha, tidak usah merendah, siapa sih yang nggak kenal nama gabriel stevent di UGM”,katanya dan tertawa. “kok tahu? Anak UGM juga ya?”,tanyaku. Riko mengangguk,“iya, seangkatan sama kamu kok, tapi jurusan ekonomi”,jawab Riko. Aku mengangguk-anggukan kepalaku. “ohya, jadi aku harus ganti rugi berapa?”,tanyaku. “150 ribu saja”,jawab Riko. Aku mengambil 3 lembar uang limapuluh ribuan dan meyerahkannya kepada riko. “makasih ya yel...”,katanya. Oik tersenyum girang. “makasih ya mas...”,kata Oik. Aku tersenyum. “yel, mau masuk dulu?”,tawar Riko. “bolehlah”,kusambut tawarannya. Riko mengajakku ke belakang tokonya, tepatnya di belakang toko iitu ada rumahnya. “duduk dulu yel”, riko mempersilakanku duduk. Aku menurutinya. Oik masuk ke dalam rumah Riko. “jadii kamu yang punya toko ini?”,tanyaku kepada riko yang duduk di depanku. “iya, kamu sendiri punya galeri kan di sekitar sentir?”,tanyanya balik. Aku mengangguk, “pernah ke galeriku?”,tanyaku. “belum, hehehee, aku nggak ngerti seni”,jawabnya. “sekali kali main ke galeriku, nggak harus ngerti seni kok buat ke galeriku”,tawarku. “iya deh, kapan-kapan”,jawabnya. Oik datang membawa dua gelas es teh dan cemilan. “ diminum mas es-nya”,tawarnya kepadaku. “iya, makasih ya”,jawabku. “makasih Ik”,kata Riko, Oik tersenyum dan kembali masuk ke dalam. “itu adik kamu?”,tanyaku kepada Riko. “bukan, dia adik asuh aku, sebenarnya dia adik angkat aku, dia tinggal disini, membantuku, aku membiayai sekolahnya tapi katanya dia tidak mau merepokan terlalu banyak kepadaku, dia akhirnya ikut berjualan asongan dari sepulang sekolah dan hari libur”,jelas Riko. “orang tuanya?”,tanyaku lagi. “ada sih orang tuanya, tapi mereka nggak sanggup biayain sekolah Oik dan saudara-saudaranya yang berjumlah 4 orang, jadi aku asuh saja si Oik”,jawab Riko. “hebat kamu... sudah sanggup membiayai seorang anak, sudah punya istri belum?”,godaku, hahaa, mengingat umur kita sama 21 tahun dan aku belum mempunyai istri. “hhahaha, bisa saja kamu, belum kok, nyari uang saja belum becus, sudah mikirin istri, pacar saja belum punya”,jawabnya sambil tertawa. Aku pun ikut tertawa mendengar penuturannya. “kamu sendiri?”,tanya Riko balik. Aku terkekeh, “ya, sama sepertimu, punya pacar aja belum, siapa sih yang mau sama aku? Sang fotografer amatir”,jawwabku. “wah, bejibun kali yel.. di kampus aja numpuk tuh cewek-cewek yang suka sama kamu, apa? Amatir? Amatir kok udah punya galeri? Ckckck, gimana yang profesional?”,goda Riko lagi. Aku hanya terkekeh. “hahaa, ada-ada saja kamu”,kaataku. Obrolan singkat terjadi antara aku dan riko, ya nostalgia pada masa-masa sekolah saja. “eh, udah sore nih, aku pamit dulu ya, ko”,aku melihat jam yang tertengger di diding rumah riko dan segera beranjak berdiri. “oh, ya sudah, hati-hati di jalan ya yel”,pesannya. Riko mengantarkanku sampai ke depan tokonya. “makasih ya ko”,kataku. Dia mengacungkan jempolnya, “sip, masama”.

Aku berjalan menuju halte bus transjogja, membeli karcis dan menunggu bus itu datang. Tak lama aku menunggu, bus berwarna hijau pun datang. Segera saaja kunaiki bus itu, rasa penat menjalar di seluruh tubuhku membuatku ingin segera sampai di rumah secepatnya.


10 tahun kemudian


Aku kembali ke kota ini, yogyakarta, sudah 10 tahun aku meninggalkan kota ini dan selama 10 tahun ini aku hanya berkeliling saja, mulai dari beberapa daerah di indonesia sampai beberapa negara di eropa dan amerika. Apa tujuanku berkeliling? Ya, hanya sekedar untuk mendapatkan ‘pemandangan’ yang bagus, dan membanding-bandingkannya. Tidak ada yang berubah dariku, tetap membawa kamera yang selalu setia menggantung di leherku. Aku menginjakkan kakiku di bandara adi sucipto. Aku memanggil taxi, taxi yang kupanggil mendekat dan segera saja aku masuk ke dalam taxi tersebut setelah menyampaikan tujuanku tentunya. Taxi yang kutumpangi melaju perlahan, menembus kemacetan di jogja. Sampai akhirnya ccciiiittt.... taxi yang kutumpangi mengerem mendadak, “pak, hati-hati donk nyupirnya...”,omelku kepada sopir taxi ini, “maaf tuan, saya tidak sengaja, lagi pula dia nyebrang nggak hati-hati tuan”,jelas sopir taxi ini. “ya sudah, ayo kita bawa korban itu ke rumah sakit”,kataku da turun dari taxi, sopir dan beberapa warga yang ada disekitar tempat kejadian itu pun menggotong tubuh anak itu ke dalam taxi. Aku segera melesat ke rumah sakit terdekat. </span></span>

Aku memeriksakan korban yang kutabrak. Aku masih menunggu di ruang tunggu, ditemani sopir taxi yang kutumpangi. Ada raut ketakutan di wajahnya. “pak, tenang saja, saya yang tanggung semua biayanya kok”,kataku memecahkan keheningan, dan berharap sopir ini tidak gelisah lagi. “terimakasih pak, tapi bukan itu yang saya takutkan, saya hanya takut dipecat boss saya”,katanya. “tenang saja pak, saya akan membantu bapak menjelaskan semuanya ke boss anda kok”,kataku menenangkan. Dia tersenyum, “terimakasih ya pak..terimakasih banyak...”,katanya dan mencium-cium punggung tanganku. “sudah bapak, tak perlu seperti ini”,kataku. “sekali lagi terimakasih ya pak”,katanya, aku tersenyum. Tiba-tiba, “permisi suster, saya mau tanya,korban kecelakaan taxi tadi di rawat dimana ya?”,tanya seorang lelaki paruh baya di tempat resepsionis, tak jauh dari tempatku duduk. Aku menengok ke arahnya. Dan mendekatinya. “maaf, apakah anda wali dari anak itu?”,tanyaku hati-hati, sepertinya orang ini keras, yah jika dilihat dari fisiknya yang sepertinya keturunan indonesia timur yang biasanya memang memiliki sifat keras. “iya, apakanh anda tahu?”,jawab dan tanyanya. “iya, dia sedang diperiksa oleh dokter, tapi sebelumnya maaf, tadi taxi saya yang menabrak putra anda”,jawabku hati-hati lagi. “apa? Jadi anda yang menabrak anak saya? Hati-hati donk, sudah tahu jalan ramai, jangan ngebut donk!”,lelaki itu mulai membentakku, aku hanya tersenyum tipis. “maaf sebelumnya, tapi tadi bukan kesalahan taxi saya, tapi tadi putra anda yang menyebrang tanpa melihat-lihat”,jelasku lembut. “jadi itu kesalahan anak saya? Jangan mengada-ada! Dimana-mana yang besar itu yang salah!”,katanya menggebu, tidak terima perkataanku. “pak, itu memang kesalahan anak bapak, nyebrang nggak liat-liat, untung saja tadi saya masih pake kecepatan rendah jadi saya bisa ngehindarin kecelakan yang lebih fatal lagi”,tiba-tiba saja sopir taxi yang kunaiki itu membelaku. “pokoknya saya nggak mau tahu, anda harus tanggung jawab semua biaya rumah sakit ini!”,kata lelaki itu tak peduli. “ok, bapak tenang saja, saya akan bertanggung jawab kok”,kataku. Lelaki itu melengos dan duduk di ruang tunggu, aku pikir aku lebih tua darinya, tapi kenapa dia tak ada rasa hormat kepadaku sedikitpun? Tapi, sepertinya aku mengenalinya? Siapa yaa? Sepertinya sudah lama sekali. dia menunduk, sepertinya dia mulai frustasi, aku duduk di sampingnya. Untuk menghilangkan kejenuhanku, aku membuka file foto di kameraku, tahukah kalian? Kameraku tidak pernah ganti sejak 10 tahun silam, hahahaa, aneh bukan, sekarang sudah jarang sekali kamera seperti ini, tapi ini aku buat sebagai ciri khasku, kamera SLR pada jaman itu. Mungkin kalian bertanya-tanya apakah memorynya tidak pernah penuh? Hahaha, tentu saja pernah, tapi selalu aku pindahkan ke komputerku, sekarang hanya tinggal beberapa yang ada di kameraku, hanya yang menurutku bagus saja. Aku mengamati setiap hasil jepretanku, dan akhirnya aku sampai pada sebuah foto seorang anak berambut ikal yang sedang duduk menerawang entah memikirkan apa, aku mulai mengubek-ubek memory otakku. Dan aku ingat kejadian 10 tahun lalu saat aku menolong seorang anak pencopet dan membawanya ke tempat Rio, ahh,, rio sahabat terbaikku yang harus di renggut nyawanya oleh sebuah truk 5 tahun yang lalu. Dan aku tidak datang untuk penghormatan terakhirnya. Menyesal? Tentu. Dia sahabat terbaikku. “hhh..”,sepertinya aku mendesah terlalu keras sehingga lelaki keras itu menoleh. Tiba-tiba seorang dokter keluar dari ruang periksa anak. “maaf, siapa keluarganya?”,tanya beliau. “saya dok..”,jawab lelaki itu. “oh, anak anda tidak kenapa-napa dia hanya schok dan sedikit luka-luka. “syukurlakh kalo begitu, bolehkah saya melihat kondisi anak saya?”,tanyanya. “oh ttentu saja”,jawab dokter itu. Aku lebih memilih menunggu di depan ruangan sedangkan lelaki itu memasuki ruangan.


Lelaki itu keluar, kulihat wajahnya gelisah, seperti menyimpan sebuah ketakutan. Dia menghampiriku. Dan kemudian mengulurkan tangannya kepadaku. Senyumku pun mengembang. Dan bertanya-tanya dalam hati apa yang sedang lelki ini pikirkan, tadi dia marah dan sekarang dia malah mengajakku bersalaman. Senyum di wajahnya juga ikut mengembang. “saya minta maaf ya pak, tadi saya sudah menuduh bapak yang tidak-tidak, ternyata benar, anak saya yang salah, tadi dia sudah cerita sendiri kepada saya”,kata lelaki itu. Tangannya tetap menggenggam tanganku. “iya tidak masalah, saya juga minta maaf ya, karena tadi taxi saya juga teledor”,kataku dan menepuk-nepuk punggung tangannya. “sekali lagi, saya minta maaf yang sebesar-besarnya kepada bapak.....”,katanya dan menggantung. “gabriel”,tambahku pada kata-katanya yang menggantung. Dia kelihatan terkejut. “mas iel ya?”,tanyanya antusias. Aku mengangguk dan pasti mukaku terlihat bingung. “daud?”,tanyaku agak ragu. Dia mengangguk, aku memeluknya. “ternyata kamu daud, maaf ya tadi mas nggak ngenalin kamu”,kataku dan melepas pelukanku. “iya, daud juga minta maaf tadi daud udah ngebentak-bentak mas iel, sumpah daud nggak tau kalau tadi itu kak iel....”,kata daud. “udahlah yang tadi lupain aja, gimana kabar kamu?”,tanyaku megalihkan pembicaraan yang mulai menyinggung hal-hal yang tidak mengenakkan. “puji Tuhan kak, baik, mas sendiri gimana kabarnya?”,tanyanya balik. Aku tersenyum, “sama, mas juga baik, sekarang kamu kerja diamana? Mas denger sekarang kamu yang ngelanjutin usahanya si Rio, ohya, maaf ya waktu rio dipanggil Tuhan, mas nggak bisa dateng, mas lagi ada di Scotlandia...”,kataku dengan menyesal. “iya, nggak papa kok mas, kita semua tahu mas itu sedang sibuk, syukurlah mas Rio ngasih kepercayaan lebih ke aku jadi sekarang aku yang ngelanjutin usahanya mas Rio”,jawab Daud. “mas sungguh menyesal nggak bisa dateng ke pemakaman Rio, tapi nasi sudah menjadi bubur...”,kataku. “sudahlah mas, sudah 5 tahun yang lalu, mas Rio pasti sudah tenang disana”,kata daud membuatku sedikit lega. “makasih ya, berkat kamu mas jadi nggak ngerasa bersalah banget”,kataku. Daud mengangguk, “sama-sama mas, makasih juga buat jasa mas Iel dulu, coba kalau nggak ada kak iel, saya nggak tau bakal jadi apa sekarang”,kata daud terlihat bersungguh-sungguh. “iya, sama-sama, sudah jadi kewajiban setiap orang untuk saling bantu-membantu. “aaduuhhh,, kalau diingat=ingat jadi sedih juga ya mas, lebih baik sekarang kita ke kantin rumah sakit ini dan ngobrol disana”,ajak daud. “okelah, tapi gimana sama anak kamu?”,tanyaku. “dia sedang tidur, mungkin efek dari obat”,jawab daud. Aku mengangguk, dan kita berjalan ke kantin.

Aku dan daud mengobrol banyak hari ini, sehingga kami lupa waktu. “wah, sepeertinya sudah makin siang yaa.., apa tidak sebaiknya kita kembali?”,tanyaku.. “wah, benar juga, sudah siang nih”,kata daud. “ya sudah mas ngurus adminidtrasi dulu”,kataku dan beranjak. “mas, nggak usah, biar aku saja, tadi aku hanya emosi mas...”,tolak daud. “sudahlah, tak apa, uangmu simpan saja!”,paksaku. “ya sudahlah, trimakasih ya mas, wah, jadi semakin banyak nih jasa mas iel ke aku”,kata daud. “ah, nggaklah”,kataku. Kemudian aku dan daud berjalan ke ruangan yang dipakai oleh anak Daud. Dan akhirnya kami berpisah di ruangan itu, aku menuju tempat administrasi.


Di tengah perjalanan Hpku berdering, sebuah pesan masuk ke Hpku, ternyata dari istriku yang menanyai kabarku dan keberadaanku. Terlalu konsen dengan HP aku menabrak seseorang. “brruuukk”. Orang yang kutabrak membawa berkas-berkas, ternyata dia seorang dokter. Dia bangkit dari jatuhnya. “maaf ya pak, tadi saya yang salah, saya jalan nggak liat-liat”,katanya. “iya, nggak papa kok, saya juga salah tadi saya juga nggak liat-liat”,kataku. “sekali lagi saya minta maaf ya pak”,katanya lagi. “iya sama-sama dok”,kataku lagi. “apakah ada yang sakit?”,tanyanya sedikit cemas, kelihatannya. “oh, tidak, saya masih kuat kok”,jawabku dan menyunggingkan senyumku. “sepertinya anda sedang sibuk, lebih baik anda segera melakukan pekerjaan anda”,tambahku. “ah, tidak juga, tapi memang saya sedang terburu-buru untuk mengantarkan berkas ini”,katanya. “ya sudah, cepatlah anda antarkan!”,perintahku dengan lembut. “iya, sekali lagi saya minta maaf ya pak, permisi”,katanya dan pamit. “ya, sama-sama”,kataku dan sekarang aku hanya melihat punggungnya yang mulai menjauh dariku. Aku pun melanjutkan jalanku ke tempat administrasi yan lumayan jauh.

Cukup lama aku mengantri, hingga akhirnya tibalah urutanku. Seorang suster menanyaiku dan menyebutkan nominal yang harus aku bayar. Aku mengeluarkan beberapa lembar uang sesuai yang disebutkan oleh suster itu. Aku tersenyum dan kembali ke tempat daud. Dan saat di jalan, kembali aku bertemu dengan dokter muda yang tadi bertabrakan denganku. “eh, ketemu lagi dengan anda”,kataku saat berpapasan dengannya. “iya pak...”,katanya dan tersenyum, senyum yang mengingatkan aku kepada Ozy, si penyemir sepatu yang bercita-cita sebagai seorang dokter. “dokter disini?”,tanyaku. “belum pak, masih KKN”,jawabnya. “oh, berarti sebentar lagi lulus ya”,kataku. “iya, alhamdulillah, amin”,balasnya. “iya, bagus kalau begitu, sekolah dimana?”,tanyaku lagi. “UGM, bapak sendiri sedang apa disini?”,tanyanya balik. “iya, tadi saya nabrak anak, ya jadi saya tanggung jawab”,jawabku. “oohh...”,dokter itu hanya menganggk-angguk. “dokter apa kalau boleh tau?”,tanyaku. “spesialis mata”,jawabnya. “wah, hebat... semoga sukses ya”,kataku dan memnujinya. “amin, terimakasih pak...”,katanya. “namamu siapa?”,tanyaku. “ahmad fauzy, tapi biasanya dipanggil Ozy, bapak sendiri?”,jawab dan tanyanya balik. “ozy? Saya gabriel, biaasanya dipanggil iel”,jawabku. “apa anda mas iel, yang suka fotografi?”,tanyanya antusias. Aku mengangguk. “masih inget saya mas? Saya ozy yang penyemir sepatu itu lho...”,tanyanya. “ya, aku masing inget kok, tadi baru saja aku ngerasa kalau kamu Ozy yang itu, sebelum kamu nyebutin nama kamu”,jawabku. “saya juga sudah ngerasa kalau mas itu mas iel, itu kameranya masih ajeg(tetap), tapi saya nggak mau SKSD”,kata Ozy dan membuatku tertawa. “hahahaa, masih inget kamu dengan kameraku? Ohya, masih nggak suka di photo?”,tanyaku menggodanya. “ya masih inget lah mas, hahaha, mas iel masih inget aja... iya aku masih nggak suka di photo, kenapa nggak ganti kamera aja mas?”,tanyanya. “ah, terlalu banyak kenangan indah yang diabadikan”,jawabku simpel. “halah, kenangan sama istrinya ya mas??”,goda Ozy. “hahaha, nggak juga, ini photo kamu yang waktu itu juga masih ada”,kataku. “hah? Masa? Sudah 10 tahun kan?”,tanyanya tidak percaya. “iya, masih ada lakh..., ini mas tunjukkin”,kataku dan aku mulai mengutak-atik kameraku dan mencari foto Ozy kecil. “nih”,tunjukku. “eh, iya, ini aku... hahahaa, mas iel... mas iel..., buat apa mas iel masih nyimpen foto aku? Buat nakut-nakutin tikus di rumah yaa??”,tanyanya sedikit bercanda. “hahaha, ya nggaklah, ini tuh foto bagus”,jawabku. “ya, itu karna aku yang jadi modelnya...”,katanya narsis. “hahaha, dokter narsis”,ejekku. “hahahaa, kata anak muda jaman sekarang tuh nggak narsis ngak hidup”,balasnya. “anak muda jaman sekarang ada-ada aja”,kataku. “hahahaa, itulah bedanya jaman sekarang sama jaman dulu”,kata Ozy. “ohya, zy, kamu mau kemana? Kok kita malah jadi ngobrol lama disini?”,tanyaku setelah menyadari bahwa kita terlalu lama berdiri. “hahaa, oh iya, mas iel sih ngajak ngobrol terus... bercanda denk”,jawabnya sambil bercanda. “kok mas sih? Kamu tuh, dokter masa lupa waktu, coba kalau ada pasien gimana?”,balasku. “hahahaa, kalau pasien sih insya allah nggak bakalan lupa”,jawabnya. “eh, sepertinya udah siang, mas pergi dulu yaa...”,pamitku. “iya mas, eh, mas, mas iel punya galeri yang ada di sentir itu kan?”,tanyanya. “iya, main kalau kamu lagi nggak sibuk...”,jawabku dan menawarinya. “iya mas, kaapan-kapan deh”,jawabnya. “ya sudah, mas duluan yaa”,pamitku lagi. “ya mas... hati-hati”,balasnya.

Aku berjalan ke tumpat Daud. Daud menyambutku. “mas iel lama banget, ngantrinya panjang ya? Aduh maaf ya mas, karna aku mas jadi harus nunggu lama”,katanya bertubi-tubi. “ah, nggak kok, nunggunya Cuma sebentar tapi tadi ketemu sama temen lama, jadi ngobrol dulu”,kataku. “oh syukurlah...”,desahnya. “hahahaa, sebegitu khawatirnya kau padaku...”,kataku. “ya tentulah mas, mas kan sangat berjasa dalam hidupku”katanya. “hahaha, tidak sebegitunya kaliii, itu terlalu berlebihan”,kataku. “hahaha, kata anak jaman sekarang terlalu lebay”,tambah Daud. “yayaya, lebay”,kataku. Aku dan daud tertawa bersama-sama.

Dengan taxi yang tadi aku, daud dan nyopon-anak daud- pulang ke rumah daud. Rumah rio juga. Aku hanya mengantarkannya. Dan berlalu. Aku duduk di jok belakang taxi, pergi ke galeriku. Daerah sentir. Taxi melaju berlahan. Mungkin takut kejadian tadi akan terulang kembali.


Akhirnya aku kembali berdiri di depan galeriku setelah membayar kerugian taxi. Tak ada yang berubah sejak 10 tahun yang lalu. Masih khas aksen Bali, memang aku sengaja memilih ornamen khas Bali, tak ada artinya memang, hanya saja aku ingin meniru para seniman Bali yang terkenal itu.

Aku melangkah, mulai memasuki pelataran galeriku. Terlihat seorang pemuda yan usianya tak jauh dariku sedang melayani para turis yang sedang melihat-lihat isi galeriku. Dia terlihat seperti seorang guide profesional. Aku sedikit tersenyum dengan kepiawaian bahasanya. Dia menjadi semakin baik dalam berbahasa asing.

Sepertinya dia melihatku, kuliat dia menhampiriku. Aku menyambutnya. Dia memelukku, aku membalas pelukannya dan menepuk-nepuk punggungnya. “gimana kabar kamu day?”,tanyaku saat pelukan dayat terlepas. “alhamdulillah baik mas, mas iel sendiri gimana kabarnya? Katanya tadi mas iel dateng sekitar jam 10 kok sampe jam 2 gini?”,tanyanya bertubi-tubi. “baik juga, iya tadi ada hambatan sedikit”,jawabku. Dayat mengajakku masuk. Aku dan dayat duduk di ruang santai di dalam galeriku, Sementara para turis sedang asyik melihat-lihat. Semenjak 10 tahun yang lalu, tepat sehari sebelum aku memutuskan untuk berkeliling, dayat menghampiriku dan memintaku untuk mengijinkan dirinya untuk bekerja di galeriku. Dengan hati seringan mungkin aku menerimanya sebegai penjaga di galeriku.

“gimana day sama galeri ini? Gimana juga sama daur ulangnya?”,tanyaku mengawali pembicaraan. “syukurlah mas, kemarin galeri ini dimuat di salah satu koran lokal, daur ulangnya juga sudah mulai bertambah maju, itu semua berkat mas iel yang udah ngirim alat dari Luar Negeri itu”,jawabnya. “ya syukurlah”,kataku. Aku dan dayat terlarut dalam obrolan seru.

Aku kembali ke hotel. Sebenarnya tadi dayat menawariku untuk tinggal di rumahnya, tapi aku menolaknya. Aku masuk ke dalam kamarku. Merebahkan badanku di ranjang hotel dan kemudian aku mendesah pelan. “kruyuukk”,perutku berbunyi. Hahahaa, baru aku sadari bahwa aku belum makan malam. Aku keluar dari kamarku. Berjalan-jalan di sekitar hotl. Tujuanku hanya satu, angkringan. Hahaha, padahal banyak sekali makanan enak di hotel ini, tapi aku sangat merindukan angkringan yang sudah 10 tahun ini tidak aku temui. Hotelku tak jauh dari DPRD jogja, yah, daerah situ memang sangat banyak warung makan berjajar. Dari gudeg sampai seafood. Aku berjalan di sepanjang jalan yang dipenuhi aneka ragam makanan. Dan aku menjatuhkan pilihanku ke sebuah angkringan yang sedikit ramai oleh anak muda Jogja. Aku memesan segelas kopi dan dua bungkus nasi kucing.

Setelah selesai melahap makananku aku kembali berjalan-jalan di sekitar situ. Kulihat banyak anak muda Jogja yang sedang nongkrong-nongkrong, hahahaa, aku jadi teringat masa mudaku, masa dimana aku dan Rio masih suka nongkrong-nongkrong nggak jelas, cari makan seadanya, dan jalan-jalan cari objek yang bagus. Hahahaa, jujur aku sangat rindu suasana itu. Tiba-tiba langkahku terhenti di sebuah Toko yang cukup Besar, cukup setengah menit untukku berpikir ada apa dengan bangunan ini, sepertinya familiar di mataku. Aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam toko itu, benar sajaa, aku langsung teringat bahwa toko ini milik Riko, kenalanku pada dahulu kala. Ah, jadi ingat Oik, gadis kecil itu, gadis yang memiliki 4 saudara dan orangtuanya tidak mampu membiayainya sekolah sehingga dia harus menjadi seorang pedagang asongan.


Hei, kenapa aku masuk ke dlam toko ini? Padahal tidak ada yang ingin kubeli, hanya saja aku ingin sedikit bernostalgia. Tapi jika aku keluar kembali pastilah aku sangat malu. Ya sudahlah, aku embil beberapa makanan berat, seperti mie instan dan bubur instan. Aku melangkah ke kasir, kasir itu seirang gadis, sepertinya itu Oik. Aku mulai mengantri. Dan akhirnya tibalah gilliranku. “hanya ini pak?”,tanyanya. “iya”,jawabku. “ehm, kamu oik yaa?”,tanyaku. “eh,,oh,,ehmm... iya pak, bapak kenal saya?”,jawab dan tanyanya. “aku iel”,jawabku. “ooh, mas iel??? Gimana kabarnya mas? Maaf tadi oik nggak ngenalin mas”,katanya. “baik, kamu sendiri gimana? Lha riko juga apa kabar?”,tanyaku. “alhamdulillah oik juga baik, oh, kalau mas riko juga baik, tapi sekarang dia udah nggak disini”,jawab oik. “maksud kamu? Nggak disini gimana?”,tanyaku sedikit cemas. “ooh, bukan begitu maksudnya, iya, bang Riko udah nggak di indo lagi, tapi sekarang dia ada di spore, dia ngajalanin bisnis disana dan keetulan istrinya juga orang sana”,jawab oik yang sepertinya mengerti pikiranku. “hahahaaa, ooh, jadi itu maksudnya, mas kira apa...”,kataku. “hayooo... mas iel kira Bang Riko udah...”,kata-kata oik aku potong. “sudahlah, jangan diperpanjang, pikiranku memang ngaco, ohya, jadi sekarang kamu yang ngelanjutin usaha Riko yang ada disini?”,tanyaku untuk mengalihkan pembicaraan. “iya, karena Oik udah lulus kuliah jadi Oik yang ngelanjutin”,jawab Oik. “ya, syukurlah kalau begitu...”,kataku. “ohya, berapa semuanya?”,tanyaku. “semuanya 23 ribu”,jawab Oik, dia menyerahkann kantong belanjaanku. Aku menyerahkan uang pas, “ya sudah ya Ik, sebenarnya sih mas masih mau ngobrol sama kamu, tapi tuh banyak yang antri”,pamitku. “iya mas, Oik juga masih pengen ngobrol banyak,, mungkin besok-besok ya mas...”,kata Oik. “ya, bisa diatur, duluan ya ik, makasih”,pamitku lagi. “iya mas, hati-hati yaa”,pesan Oik. Aku mengacungkan kedua jempolku dan melangkah keluar dari toko itu.

aku memandangi kameraku di balkon kamar hotelku. Aku membuka file yang tertera disitu, file yang 10 tahun lalu.

File pertama, kulihat seorang bocah laki-laki yang sedang menyemir, aku kembali mengingat masa itu, dan kemudian aku mengingat kejadian tadi siang saat aku bertemu kembali dengan bocah itu, dia sekarang sudah bisa meraih cita-citanya menjadi seorang dokter spesialis mata, siapa sangka calon dokter itu dulunya adalah seorang penyemir sepatu??


File kedua, terlihat foto seorang anak keturunan Nusa tenggara dengan kulitnya yang terlihat gelap sedang menerawang jauh ke awan. Sampai sekarang tidak ada yang tahu apa yang sedang dia pikirkan pada saat itu. Mungkin saja keluarganya. Dan sekarang dia menjadi seorang agen koran dan menjadi orang kepercayaan Rio dan menjadi ayah yang sangat perhatiaan kepada anaknya. Ahh... tak disangka seorang pencopet sekarang bisa menjadi orang yang sangat penyayang dan orang yang bisa diberi kepercayaan.

File ketiga, hanya terlihat punggung seorang gadis kecil, ya, karena aku mengikutinya dari belakangnya. Dialah oik. Gadis kecil itu, gadis yang rela berjualan asongan demi mendapatkan pendidikan. Ah, kagum sempat terbesit di pikiranku pada waktu itu. Dan sekarang dia menjadi seorang sarjana yang sudah bisa mengurus bisnis kecil-kecilan.

File keempat, bukan file yang kuambil 10 tahun lalu, foto ini kuambil tadi sore. Yap, foto dayat. Dulu aku belum sempat mendapatkan fotonya. Dan aku teringat pada saat itu, saat dimana dayat sedang mengorek-orek tong sampah. Dan sekarang dia menjadi seorang guide yang pandai berbahasa asing. Tak menyangka memang.

Aahh, mereka hanya sebagian kecil dari orang-orang yang sangat beruntung. Orang-orang kecil yang sekarang menjadi orang besar. Dan semangat yang dulu mereka tunjukkan semua terekam disini. Di balik lensa kamera. 23/01/2011 19:22:24

ok, selese... gimana ceritanya?? gajekah??? kritik sama sarannya di tunggu yaa.. cz aku butuh kritk sama saran kalian, ya aku hanya seorang anak yang sedang dalam tahap belajar.


ini nih yang dibuat sama dayat n iel
nah ini maksud aku...

0 komentar:

Posting Komentar